Dilema Remedial di Sekolah Indonesia

remedial

1. berhubungan dengan perbaikan
2. bersifat menyembuhkan

Jikalau benar remedial bersifat menyembuhkan dan membuat perbaikan? kenapa banyak pendidik yang memberikan remedial berbentuk tugas yang tidak bersifat menyembuhkan?

Sebagai guru baru, guru yang memang bukan berlatar belakang dari kampus pendidikan guru. Saya tidak banyak tau mengenai istilah dan kaidah-kaidah (cailah) dunia pendidikan. Hal baru yang saya gali akhir-akhir ini adalah tentang remedial. Siapa sih anak sekolah negeri di Indonesia yang tidak tau remedial?  Bagi saya sewaktu sma, remedial adalah kalau nilai saya jelek, saya akan diberikan soal untuk ujian lagi.  Bukan sekali ataupun dua kali, saya remedial berkali-kali. Mungkin bahkan hingga gurunya lelah dan menDONGKRAK langsung nilai saya. Terkadang saya pun diberikan tugas tambahan dari buku. Menulis ataupun mencatat sesuatu terkait pelajaran. Hanya mencatat dan mengopi. Apakah kemampuan saya menjadi lebih baik ?tentu saja tidak.

Sampai suatu ketika saya membaca buku dari "Sekolah Untuk Kehidupan" karya Zulkifri Anas, di buku tersebut dia berkata 

                 

"Remedial seharusnya bukan memperbaiki nilai tapi memperbaiki kemampuan. Bukan hanya memberikan soal yang sama untuk dikerjakan. Tapi membimbing hingga akhirnya kemampuan si anak pun dapat meningkat"

Perkataan beliau teringat-ingat terus bagi guru  newbie seperti saya. Saya merasa tergugah dengan pemikiranya. Saya, pada saat membaca bagian itu, berjanji untuk mencoba membantu anak-anak mengejar skill yang tertinggal bukanya hanya memberikan soal dan tugas, namun skill nya tidak meningkat. 

Seminggu ini adalah masa remedial di sekolah saya. Saat guru-guru lain memberikan tugas dan perbaikan, saya kembali bertanya kepada guru lain, apa yang mereka berikan?

Jawaban guru beragam ada yang memilih memberikan soal kembali, atau tugas baru atau catatan untuk ditulis. 

saya tertegun,"apa yang akan saya lakukan?"

di tengah paperworks, jadwal mengajar khusus yang menghimpit, laporan bulanan dari supervisor, haruskan saya mengorbankan idealisme saya? haruskah saya menyerah terhadap realita yang dihadapi oleh guru lainya?

realita bahwa banyak kertas dan target yang menyibukkan guru.

Akhirnya, saya memutuskan untuk mempertahankan idealisme saya. Saya menunda beberapa paperworks, untuk mendapatkan hasil pembelajaran yang maksimal bagi anak-anak. Kami belajar kembali dan mereview materi yang belum di mengerti. Remedial pertama saya cukup intimate karena hanya saya dan beberapa murid saya. Murid yang saya dapat fokus bantu tidak seperti kelas ramai biasanya :)

Konsekuensinya adalah banyak pekerjaan "tambahan" guru yang terbengkalai. 

tapi itulah dunia, ambil resiko. 

Mungkin saya akan terlihat jelek di supervisor.

Tapi saya akan membantu banyak anak-anak. 

and I think to teach my students is the basic role of a teacher. Others can come later on. 

What do you think?